Kamis, 27 November 2008

BUKAN BERAT BEBAN YANG MEMBUAT STRESS

Bukan artikel tentang manajemen, tapi penting untuk yang mempelajari manajemen



Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: “Seberapa berat menurut anda kira-kira segelas air ini?” Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr. “Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya,” kata Covey.

“Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat.”

“Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya,” lanjut Covey. “Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi.” Kita harus meninggalkan beban kita secara periodic, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban tersebut.”

“Bukan beban berat yang membuat kita Stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut.” Stephen Covey.


"Tak ada perjalanan yang mulus"

When things go wrong as they sometimes will
And the road you’re trudging seems all up hill

When the fund is low and the debt is high
And you want to smile but you have to sigh

When care is pressing you down a bit
Rest if you must, but don’t you quit
...

Rabu, 26 November 2008

ANALISIS KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA

Yang disuruh Prof Syafrizal... pengganti ujian mid Analisa Lingkungan Usaha ya Prof..

I. LATAR BELAKANG
Dari tahun ke tahun sejak reformasi, privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) semakin meningkat saja. Privatisasi sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi di Indonesia sebenarnya diisukan secara bertahap sejak masa pemerintahan Suharto, yakni sejak diberlakukannya deregulasi dan dikorporasikannya perusahaan negara menjadi perusahaan umum. Didorong oleh krisis keuangan pada tahun 1998, menyusul dikenakannya kewajiban pemerintah untuk melakukan bail out atas hutang bank-bank swasta yang menyebabkan deficit APBN, maka pemerintah diminta oleh IMF melalui Letter of Intent memberlakukan Undang-undang No 22 Tahun 2001 mengenai privatisasi BUMN sebagai perusahaan public (PERSERO). UU ini kemudian diikuti Peraturan Pemerintah No. 31 of 2003. BUMN yang termasuk paling awal diprivatisasi adalah PN Pertamina yang diubah menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 9 Oktober 2003. Keberhasilannya kemudian diikuti oleh penjualan saham PT Indosat dsb.
Sesuai dengan konstitusi,negara mempunyai kewenangan penuh dalam mengelola sumber daya alam demi kemakmuran dan keadilan masyarakat yang dalam hal ini secara kelembagaan dilimpahkan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagi negara, keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki dimensi sosial-ekonomi.
Dalam dimensi sosial, keberadaan BUMN adalah manifestasi pelayanan, distribusi, dan pengelolaan demi pemenuhan hajat hidup masyarakat banyak atas berbagai sumber daya alam seperti sumber air, listrik, gas, minyak, tambang, dan sebagainya. Sementara pada dimensi ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor strategis agar tidak dikuasai secara privat sehingga bisa menjadi sumber pendapatan negara yang utama. Posisi BUMN sangat strategis karena melingkup pada hampir seluruh sektor kegiatan ekonomi, baik pertanian pertambangan, industri, perdagangan, infrastuktur, dan jasa lainnya.

Namun dalam dimensi ekonomi tersebut, kinerja BUMN tidak memberikan hasil yang selalu optimal, keberadaan berbagai BUMN tak jarang tidak menambah pendapatan negara. Bahkan, selama ini pengelolaan BUMN seperti PT KAI, PDAM, dan PLN telah banyak yang bermasalah, merugi, dan menjadi beban pembiyaan nasional. Dari 300 PDAM di Indonesia, hanya 20% yang memiliki neraca keuangan yang stabil, sisanya selalu defisit.

Dalam menyikapi problem inilah kemudian bergulir kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi ini secara mikro bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang dan menekan beban BUMN. Hal ini didasari pemikiran bahwa kekuatan pasar paling efisien untuk mengendalikan kegiatan ekonomi, karena itu penyerahan pengelolaan pelayanan publik pada sektor swasta akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia. Dengan diterbitkan berbagai perundang-undangan seperti UU BUMN, UU Ketenagalistrikan, UU SDA dan sebagainya, diharapkan mampu merubah performa BUMN menjadi lebih profesional dengan mengedepankan keuntungan ekonomis. Privatisasi secara ideal akan menumbuhkan good corporate governance (GCG), sumber keuangan baru untuk menutup APBN, dan kepentingan ekspansi pasar. Tiap tahun berbagai BUMN terdaftar untuk “disehatkan” menjadi perusahaan swasta. Untuk tahun 2008 ini saja ditargetkan 28 perusahaan BUMN akan diprivatisasi.

Meski memberikan keuntungan finansial bagi negara, privatisasi tidak lepas resiko. Sudah pasti privatisasi telah membuka keterlibatan kekuatan modal swasta. Hal ini menjadikan posisi negara tidak dominan dalam melakukan kontrol dan proteksi terhadap badan-badan usaha yang menyentuh sektor publik. Ketika BUMN menjadi perusahaan swasta maka sudah pasti orientasinya adalah profit. Sudah banyak pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang dikelola swasta nyatanya kurang bisa proporsional dalam melakukan sharing untuk kuntungan dalam negeri. Belum lagi dampak eksplorasi alam yang merusak lingkungan dan marginalisasi masyarakat lokal di kawasan eksplorasi. Kasus PT Newmont Minahasa, PT Lapindo Brantas, dan Freeport adalah contoh yang bisa menggambarkan bagaimana potret kelam pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan kepada swasta/perusahaan asing.

II. PERMASALAHAN
Sampai hari ini gagasan dan implementasi privatisasi BUMN banyak menimbulkan pro kontra di masyarakat. Mungkin, dalam beberapa konteks, privatisasai BUMN/BUMD akan amat relevan, misalnya untuk sektor sumber daya tak terbatas seperti sektor telekomunikasi. Ataupun sektor BUMD dalam kawasan industri seperti di daerah Batam. Akan tetapi dalam konteks dan lokalitas yang lain, privatisasi akan merugikan masyarakat. Jika melihat visi perekonomian Indonesia, seharusnya setiap kebijakan ekonomi hendaknya diproyeksikan untuk kesejahteraan rakyat. Privatisasi BUMN harus bisa mengemban visi tersebut di tengah birokrasi Indonesia yang dikenal rentan terhadap KKN dan juga ancaman kerakusan kaum pemodal.
Karenanya perlu dilakukan kajian mendalam dan kritis sebelum sekian kebijakan tentang privatisasi ditelorkan oleh negara. Jika negara salah mengambil kebijakan maka privatisasi akan berbuah penderitaan rakyat yang tentunya paradoks dengan tujuan ideal dari privatisasi itu sendiri. Berangkat dari pemikiran inilah, dalam essay ini akan dibahas mengenai privatisasi dan latar belakang implementasi privatisasi BUMN di Indonesia. Pada bagian akhir akan dibahas mengenai kinerja hasil privatisasi BUMN hingga tahun 2008 ini.

III. ANALISA PERMASALAHAN
Defenisi privatisasi sendiri adalah pemindahan kepemilikan perusahaan dari pemerintah ke swasta (Peacock,1930), yang lain mendefenisikan privatisasi sebagai penjualan yang berkelanjutan sekurang-kurangnya 50% saham pemerintah di perusahaan pemerinatah ke swasta (Beesley dan Littechild,1980).

Dari defenisi privatisasi tersebut, terdapat 4 kebijaksanaan pemerintah terkait dengan privatisasi (Clementi,1980) yaitu :
1. Pemindahan pemilikan perusahaan ke swasta
2. Liberalisasi aktivitas melalui kompetisi
3. Menghapus fungsi pemerintah tertentu sehinga biaya pengelolaan perusahaan tersebut menjadi menurun.
4. Mengurangi jasa publik yang kurang bermanfaat.

Pada prinsipnya terdapat 3 macam dan bentuk privatisasi :
a. Penjualan perusahaan milik pemerintah yang telah ada.
b. Penggunaan dana swasta untuk pembangunan infrastruktur ekonomi.
c. Mengkontrakkan sebagian tugas pelayanan pemerintah kepada swasta.

Latar belakang privatisasi seperti yang telah dijelaskan dalam Pendahuluan, dapat dirangkum menjadi 4 point utama yaitu :
 Banyaknya BUMN dengan kinerja yang rendah dan tingkat keuntungan yang relatif rendah bahkan merugi.
 Besarnya utang negara yang didominasi oleh utang BUMN
 Adanya defisit APBN
 Rencana peningkatan kualitas pelayanan publik.
Seperti terlihat pada gambar dibawah ini, kebijakan privatisasi dipicu oleh siklus ekonomi itu sendiri. Bagi BUMN, tindakan privatisasi merupakan bagian dari silkus inovasi baik yang bersifat kreatif maupun destruksi, hal ini akan memberikan iklim kompetisi yang menyebabkan 2 hal dalam perkembangannya, kinerja semakin meningkat atau atau justru menurun karena ketidak mampuan berkompetisi setelah lepas dari rangkulan pemerintah sebagai pelindung.

Privatisasi ini secara mikro bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang dan menekan beban BUMN. Hal ini didasari pemikiran bahwa kekuatan pasar paling efisien untuk mengendalikan kegiatan ekonomi, karena itu penyerahan pengelolaan pelayanan publik pada sektor swasta akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia. Rangkuman tujuan itu sendiri adalah :
• Meningkatkan efisiensi pengelolaan pelayanan publik sehingga biaya negara berkurang.
• Meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi masyarakat luas sehingga masyarakat menjadi lebih puas, hal ini harus dibarengi dengan upaya perlindungan konsumen.
• Mengurangi kemungkinan KKN karena campur tangan pemerintah.
Pelaksanaan program privatisasi ditentukan oleh beberapa lembaga negara di mana masing-masing lembaga memiliki sudut pandang yang berbeda. Di Indonesia sendiri, Kementerian Negara BUMN mempunyai pandangan dari sisi ekonomi mikro. Departemen Keuangan lebih memandangnya dari sisi ekonomi makro, sedangkan lembaga legislatif menggunakan pandangan ekonomi politik.
Pandangan tersebut menentukan obyektivitas terhadap keputusan privatisasi. Ekonomi mikro bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang perusahaan BUMN. Privatisasi juga diharapkan dapat meningkatkan good corporate governance (GCG), masuknya sumber keuangan baru ke perusahaan, dan pengembangan pasar. Manfaat alih teknologi dan peningkatan jaringan juga diharapkan dalam privatisasi BUMN yang melalui proses strategic sale.
Dari sisi ekonomi makro, tujuan privatisasi berorientasi pada kepentingan fiskal, yaitu untuk menambah sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah, perbaikan iklim investasi, dan pengembangan pasar modal.
Obyektivitas ekonomi politik bertujuan melindungi aset nasional dengan pertimbangan melindungi bidang usaha yang berkaitan dengan nasionalisme, keamanan negara, dan usaha sumber daya alam.

Metode privatisasi cukup banyak, dalam prakteknya terdapat 9 jenis metode privatisasi, namun dari pengalaman yang ada, metode Penawaran Umum (Flotation) berupa penjualan saham (IPO) di bursa efek dinilai lebih efektif. Cara ini dapat memberi ukuran peningkatan kinerja melalui perubahan harga saham.
Tantangan melakukan metode IPO adalah BUMN diharapkan untuk memiliki tren pertumbuhan, sahamnya diminati investor, mampu membukukan keuntungan (profitable), memiliki prospek usaha yang baik, memiliki produk/jasa unggulan, dan memiliki kompetensi teknis dan manajemen yang andal. Kendala lainnya dalam melakukan metode IPO adalah persyaratan pasar modal. Pada kenyataannya, setiap tahun rata-rata 25 persen dari perusahaan BUMN mengalami kerugian sehingga menghambat proses privatisasi.

Kinerja Hasil Privatisasi
Pemerintah merencanakan target privatisasi 28 perusahaan BUMN tahun 2008. Sementara realisasi privatisasi tahun ini sebanyak 3 perusahaan dari target 14 BUMN. Tidak dapat dimungkiri privatisasi BUMN memberi kontribusi terhadap pertumbuhan kapitalisasi pasar modal Indonesia. Sampai akhir Oktober 2007, BUMN memberi kontribusi nilai kapitalisasi pasar modal sebesar Rp 634,30 triliun atau sebesar 34 persen. Kontribusi yang cukup signifikan ini hanya diberikan oleh 15 perusahaan BUMN di pasar modal.

Saat ini sekitar 10 persen BUMN telah diprivatisasi dari total 140 perusahaan. Data Kementerian Negara BUMN menunjukkan, nilai aset keseluruhan BUMN tahun 2006 sebesar Rp 1.361,8 triliun, di mana Rp 452,5 triliun merupakan ekuitas, sedangkan Rp 909,3 triliun dari aset BUMN berasal dari utang. Sebagian besar atau sekitar 90 persen dari total aset BUMN serta 80 persen laba bersihnya berasal dari 22 BUMN yang terbesar. Dari keseluruhan BUMN yang diprivatisasi, sekitar 15 persen merupakan BUMN berskala besar.

Pasar bagi privatisasi BUMN sangat potensial. Dari sisi demand, investor menunggu program privatisasi BUMN karena pada umumnya BUMN bergerak pada industri strategis yang memiliki potensi pasar yang besar. Program privatisasi telah memberi dampak positif terhadap peningkatan nilai perusahaan. Sebagian besar harga saham BUMN mengalami kenaikan sejak dilakukan privatisasi melalui penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO). Bahkan, peningkatan harga terlihat sangat menonjol dengan rata-rata kenaikan harga saham melebihi 460 persen dari harga IPO.
Program privatisasi yang dilakukan telah memengaruhi peningkatan kinerja internal perusahaan. Jika dibandingkan dengan BUMN yang belum diprivatisasi, kinerja BUMN yang telah melalui privatisasi IPO umumnya lebih tinggi.
Namun apakah pelaksanaan privatisasi BUMN sudah optimal dan menunjukkan kinerja yang tinggi sesuai dengan yang diharapkan? Sebanyak 75 persen dari target privatisasi tahun 2007 belum dapat terlaksana dan divestasi BUMN masih menunjukkan tingginya tingkat kepemilikan pemerintah. Kelanjutan program privatisasi diharapkan dapat menjadi strategi peningkatan kinerja BUMN. Stiglitz tahun 1987 sudah menjelaskan bahwa kinerja optimal program privatisasi diperoleh melalui divestasi minimal 51 persen kepemilikan. Dengan kata lain, optimal kinerja dicapai ketika pemerintah memiliki hak minoritas dan perusahaan mengikuti perkembangan pasar.

Dalam program privatisasi BUMN selama ini, dominasi pemerintah masih terlihat. Hampir seluruh program privatisasi yang telah dilakukan masih menyisakan hak kontrol mayoritas pada pemerintah. Tingkat kepemilikan pemerintah masih di atas 51 persen. Pengecualian pada Indosat yang melepas lebih dari 85 persen kepemilikan pemerintah. Walaupun hal ini masih disertai penyertaan saham seri A yang memberi otoritas kebijakan strategis kepada pemerintah.
Dari hasil kinerja diatas terlihat, bahwa sekalipun kinerja BUMN hasil privatisasi melebihan BUMN yang belum diprivatisasi, hasil kinerja itu sendiri masih belum optimal sesuai dengan harapan pemerintah dan tujuan awal privatisasi.

IV. PENUTUP
Privatisasi dimanapun di seluruh dunia selalu menimbulkan kontroversi. Ketika ia dibeli raksasa-raksasa ekonomi, suasana dapat saja sekejap menjadi cerah dan mengundang pesona. Namun demikian para pekerja yang semula menderita sesak nafas di BUMN lama begitu dirumahkan oleh pemilik baru dapat menimbulkan suasana kepedihan. Bagi yang dipekerjakan, sebagus apapun suasana baru itu, belum tentu membuat pekerja yang lama akan menikmati. Suasana kerja yang daya pacunya berbeda jauh dengan suasana lama semakin akan diperhitungkan untung ruginya. Ini menimbulkan kelelahan tersendiri.

Sudah saatnya asas undang undang mengenai perlakuan yang sama (equal treatment) harus diubah untuk menghargai kedudukan rakyat dan negara. Demikian pula pengelolaan dan pemilikan lahan harus oleh rakyat Indonesia dengan fasilitas khusus kepemilikan dan pengelolaan tanah bagi rakyat miskin Indonesia. Dalam hal tenaga kerja, kekuatan mereka dalam melakukan pekerjaannya harus menurut standar internasional dengan hak/kewajiban yang sama pula. Negara harus tetap sebagai pemilik tanah dengan asset yang dapat diolah secara terbatas. Memang, rejim, dibantu oleh kaum akademis, yang kuat selalu menang dan menjaga wibawa semata-mata demi kemenangan politiknya bukan demi Negara dan kesejahteraan rakyat. Jika hanya mempertahankan kebijakannya tanpa mempertahankan nasib Negara dan rakyat niscaya sebuah pemerintahan atau rejim akan jatuh, karena di masa kini sudah sulit mempertahankan dominasi tanpa memperhatikan nasib rakyat dan tanah air.

Guna meningkatkan hasil yang optimal atas privatisasi BUMN dan agar sesuai dengan hasil yang diharapkan dan tujuan awal privatisasi, maka pemerintah perlu membuat kebijakan yang tepat dan berdampak jangka panjang dna bukan hanya sekedar keuntungan dalam jangka pendek.

Masih banyak ruang untuk meningkatkan kinerja privatisasi perusahaan BUMN. Strategi privatisasi perlu didukung dengan pembenahan melalui restrukturisasi sebelum privatisasi. Penentuan target restrukturisasi yang jelas dapat meningkatkan kinerja pelaksanaan privatisasi. Strategi seperti ini lebih mengacu pada pandangan bahwa privatisasi untuk pengembangan perusahaan BUMN dari pada sebagai sumber dana APBN.
Dalam jangka panjang, keberhasilan program privatisasi dapat mendukung sumber dana APBN. Pencapaian tujuan ekonomi makro dalam privatisasi ditentukan oleh target menghasilkan dana APBN. Fleksibilitas menerima pemasukan dari sumber alternatif BUMN seperti pajak dan dividen dapat mendukung optimalisasi program privatisasi.
Dalam jangka yang lebih panjang, privatisasi diharapkan menjadi katalis peningkatan kinerja perekonomian sektor riil. Demikian juga lembaga legislatif yang memegang fungsi kontrol dapat mendukung kinerja program privatisasi sebagai motivator peningkatan kinerja perekonomian nasional. Tingkat divestasi dapat ditingkatkan untuk membawa perusahaan BUMN lebih dekat kepada mekanisme pasar. Program privatisasi diharapkan dapat meningkatkan perekonomian melalui peningkatan kinerja internal perusahaan BUMN


DAFTAR REFERENSI
Prof. Dr. Syafrizal, Privatisasi BUMN di Indonesia : Teori dan Implementasi, bahan kuliah Analisa Lingkungan Usaha, September 2008
Anggoro,Pony, Privatiasasi BUMN : Sebuah Ironi, Institute For Global Justice,22 Agustus 2008
Meitisari, Pramayanti, Kemana Arah Privatisasi BUMN tahun 2008, http://pusri.wordpress.com, 10 Desember 2007
Riansyah,L. Analisis Kritis Kebijakan Privatisasi BUMN, 20 Februari 2008

PERANAN EMPLOYEE ENGAGEMENT DALAM PENINGKATAN KINERJA PERUSAHAAN


Essay yang dibuat menjelang ujian akhir Perilaku Organisasi



I. LATAR BELAKANG
Perusahaan sebagai organisasi memiliki ketergantungan yang saling terkait dengan individu dalam perusahaan itu sendiri. Karyawan sebagai individu dalam perusahaan merupakan bagian dari struktur organisasi yang memiliki peranan besar dalam menentukan tercapainya tujuan perusahaan. Kinerja karyawan merupakan dasar bagi pencapaian kinerja dan prestasi perusahaan, sehingga pengelolaan karyawan sebagai sumber daya yang potensial merupakan tugas utama manajemen. Pengelolaan sumber daya manusia menjadi sangat penting karena perusahaan dapat mencapai kinerja yang diharapkan serta memiliki keunggulan kompetitif ketika orang didalamnya melakukan apa yang terbaik dari mereka, apa yang mereka senangi serta kuatnya faktor kepemilikan secara psikologis dalam melaksanakan dan memberi hasil pada pekerjaan mereka, kesemua hal tersebut menjadi faktor motivasi karyawan.

Faktor motivasi memiliki hubungan langsung dengan kinerja individual karyawan. Sedangkan faktor kemampuan individual dan lingkungan kerja memiliki hubungan yang tidak langsung dengan kinerja. Kedua faktor tersebut keberadaannya akan mempengaruhi motivasi kerja karyawan. Karena kedudukan dan hubungannya itu, maka sangatlah strategis jika pengembangan kinerja individual karyawan dimulai dari peningkatan motivasi kerja. Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju roda perusahaan pun akan berjalan kencang, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin roda perusahaan berjalan baik, kalau karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang tinggi dan memiliki moral yang rendah.

Salah satu faktor yang memotivasi kerja karyawan adalah kepuasan. Dari berbagai pengalaman diketahui bahwa biasanya karyawan yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan asal-asalan. Untuk itu merupakan keharusan bagi perusahaan untuk mengenali faktor-faktor apa saja yang membuat karyawan puas bekerja di perusahaan. Pemahaman tentang jenis atau tingkat kebutuhan perorangan karyawan oleh perusahaan menjadi hal mendasar untuk meningkatkan motivasi. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun akan meningkat.

Namun dalam perkembangannya, faktor kepuasan karyawan (employee satisfaction) saja, pada saat ini sudah dianggap kurang memadai bagi organisasi untuk menunjang kinerja karyawan. Bisa saja terjadi karyawan yang memiliki kepuasan tinggi, justru tidak termotivasi untuk menunjukkan kinerja yang terbaik. Sebagian diantaranya justru ongkang-ongkang kaki untuk menikmati pekerjaannya atau justru meninggalkan pekerjaannya.

Lebih dari sekedar kepuasan kerja, karyawan diharapkan mempunyai engagement, suatu keterlibatan, komitmen, keinginan untuk berkontribusi dan rasa memiliki (ownership) terhadap pekerjaan dan perusahaan. Di dalam terminologi ini, termasuk pula di dalamnya timbulnya rasa saling percaya (trust), loyalitas terhadap pekerjaan dan perusahaan, serta kebanggaan terhadap perusahaan dan semangat bekerjasama. Kondisi-kondisi tersebut yang kemudian melahirkan istilah EMPLOYEE ENGAGEMENT. Konsep employee engagement menjadi penting dalam mengkonsepsualiasikan dan menentukan peranan modal manusia terhadap kinerja organisasi. Konsep ini diperkenalkan oleh Gallup pada 2004 secara empirical dengan responden lebih dari 2500 bisnis, pusat kesehatan serta unit pendidikan.

Konsep employee engagement mungkin belum terlalu banyak dikenal, tetapi konsep sejenis yang sering digunakan yaitu konsep kepuasan karyawan telah banyak dikenal dan diterapkan dalam berbagai perusahaan. Ada persamaan antara kedua konsep tersebut, namun konsep employee engagement memiliki implikasi yang lebih jauh dibandingkan dengan konsep kepuasan karyawan dan enggament dinilai lebih penting daripada kepuasan saja.

Mengapa engagement dianggap penting? Engagement selama ini dikenal luas sebagai konsep yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat keterikatan karyawan terhadap faktor organisasi. Faktor ini mendorong karyawan untuk melakukan usaha yang maksimal melebihi yang diharapkan. Bahkan faktor keterikatan ini juga mempengaruhi keputusan karyawan untuk bertahan atau meninggalkan perusahaan. Layaknya efek domino, kedua hal tersebut pada akhirnya akan berperan pada tingkat kemajuan dan kinerja perusahaan.

II. PERMASALAHAN
Employee engagement dinilai memberikan hasil yang lebih baik untuk mengukur faktor motivasi karyawan dalam upaya meningkatkan kinerja karyawan dan perusahaan. Berkaitan dengan teori perilaku individu dan teori motivasi yang menjadi dasar dalam pencapaian performa karyawan dan kinerja organisasi, konsep employee engagement bisa jadi merupakan metode yang tepat dalam pengelolaan sumber daya manusia dalam perusahaan. Konsep seperti apa yang ditawarkan oleh employee engagement dan faktor-faktor apa yang mendorong terciptanya employee engagement serta sejauh mana peranannya dalam peningkatan kinerja perusahaan merupakan pembahasan utama dalam essay ini.

III. ANALISA PERMASALAHAN
Pengertian dan teori yang berkaitan dengan Employee Engagement
Employee engagement pertama kali diperkenalkan oleh kelompok peneliti Gallup pada tahun 2004. Employee engagement telah diklaim dapat memprediksikan peningkatan produktivitas pada karyawan, profitabilitas, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen serta keberhasilan untuk organisasi, sehingga topik ini menjadi isu yang hangat diperbincangkan dikalangan akademisi dan profesional. Dalam literatur akademik ada banyak definisi yang menjelaskan arti dari employee engagement. Ada yang mendefinisikan employee engagement sebagai bentuk keterlibatan individual dan kepuasannya serta sebagai bentuk antusiasme dalam melakukan pekerjaan. Lebih lanjut, employee engagement dijelaskan sebagai sebuah konsep yang dinilai dapat mengatur upaya-upaya karyawan yang sifatnya sukarela, yaitu ketika karyawan memiliki pilihan-pilihan, mereka akan bertindak lebih jauh untuk kepentingan organisasi mereka. Karyawan yang terikat adalah seorang yang terlibat penuh dalam pekerjaannya dan sangat antusias terhadap pekerjaan.

Dalam bukunya, Getting Engaged: The New Workplace Loyalty, penulis Tim Rutledge (http://www.wikipedia.com,2008) menjelaskan bahwa karyawan yang terikat akan tertarik dan terinspirasi pada pekerjaan mereka (sebagai contoh : pernyataan “Saya ingin melakukan pekerjaan ini”), serta berkomitmen (“Saya berkomitmen terhadap keberhasilan yang sedang saya kerjakan”), dan mengagumi pekerjaan mereka ("Saya mencintai apa yang sedang saya kerjakan”).

Konsep employee engagement sendiri merupakan pengembangan dari konsep pemahaman perilaku individu dalam organisasi. Dalam organisasi, terdapat tiga hal yang mempengaruhi perilaku individu dan prestasi (Gibson,Ivancevich,Donnely: Organization Behaviour) yaitu :
1. variabel individu berupa kemampuan dan keterampilan
2. variabel keorganisasian
3. variabel psikologis berupa persepsi,sikap dan perilaku

Employee engagement termasuk dalam variabel psikologis, seperti komponen pembentuk sikap, komponen utama dalam employee engagement terdiri atas 3 yaitu :
1. Komponen kognitif , berisi hal-hal yang dipikirkan karyawan tentang perusahaan tempat mereka bekerja. Dari komponen ini dapat dilihat apakah karyawan dan perusahaan memiliki kecocokan level pemikiran ,artinya apakah karyawan mempercayai tujuan organisasi serta mendukung nilai-nilai yang dianut perusahaan.
2. Komponen Afektif, merupakan hal-hal yang dirasakan karyawan terhadap perusahaan, yang memperlihatkan ikatan emosional antara karyawan dan perusahaannya, seperti rasa bangga menjadi bagian dari organisasi.
3. Komponen perilaku, yang merujuk pada 2 hal yaitu pertama apakah seorang karyawan berusaha maksimal dalam bekerja, dan kedua, apakah karyawan tersebut bersedia bertahan dalam perusahaan.

Seperti komponen diatas, John H.Fleming dan Jim Asplund dari kelompok Gallup menerjemahkan 4 dimensi employee engagement seperti yang tergambar dalam gambar dibawah ini, dimana tingkatan dimensi didasari oleh pemenuhan kebutuhan karyawan hingga keinginan karyawan untuk tumbuh bersama organisasinya.


Faktor-faktor penggerak terciptanya employee engagement

Penggerak employee engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan organisasi. Secara umum terdapat 3 (tiga) kluster utama yang menjadi penggerak employee engagement, yaitu :

 Organisasi.
Hal-hal terkait organisasi yang dapat menjadi penggerak employeeengagement adalah budaya organisasi, visi dan nilai yang dianut, brand organisasi. Budaya organisasi yang dimaksud adalah budaya organisasi yang memiliki keterbukaan dan sikap supportive serta komunikasi yang baik antara rekan kerja. Keadilan dan kepercayaan sebagai nilai organisasi juga memberikan dampak positif bagi terciptanya employee engagement. Hal-hal ini akan memberikan persepsi bagi karyawan bahwa mereka mendapat dukungan dari organisasi.

 Manajemen dan Kepemimpinan.
Engagement dibangun melalui proses, butuh waktu yang panjang serta komitmen yang tinggi dari pemimpin. Untuk itu, dibutuhkan kekonsistenan pemimpin dalam mementoring karyawan Dalam menciptakan employee engagement, pimpinan organisasi diharapkan memiliki beberapa keterampilan. Beberapa diantaranya adalah teknik berkomunikasi, teknik memberikan feedback dan teknik penilaian kinerja (McBain, 2007). Hal-hal ini menjadi jalan bagi manajer untuk menciptakan employee engagement sehingga secara khusus hal-hal ini disebut sebagai penggerak employee engagement.

 Working life.
Kenyamanan kondisi lingkungan kerja menjadi pemicu terciptanya employee engagement. Ada beberapa kondisi lingkungan kerja yang diharapkan dapat menciptakan employee engagement. Pertama, lingkungan kerja yang memiliki keadilan distributif dan prosedural. Hal ini terjadi karena karyawan yang memiliki persepsi bahwa ia mendapat keadilan istributif dan prosedural akan berlaku adil pada organisasi dengan cara membangun ikatan emosi yang lebih dalam pada organisasi. Kedua, lingkungan kerja yang melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan. Kondisi ini mempengaruhi karyawan secara psikologis, mereka menganggap bahwa mereka berharga bagi organisasi. Hal ini membuat karyawan akan semakin terikat dengan organisasi. Ketiga, organisasi yang memperhatikan keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga karyawan. Dalam banyak penelitian dijelaskan bahwa ketika konflik antara pekerjaan dan keluarga terjadi, karyawan akan cenderung memutuskan keluar dari pekerjaan. Oleh karena itu manajer harus menjaga keseimbangan keduanya sehingga karyawan merasa bahwa pekerjaan tidak mengancam kehidupan keluarganya.

Untuk mengetahui tingkat engagement karyawan, salah satu metode yang bisa dilakukan adalah metode “ Focus, Measure and Follow Up”, dalam menjalankan metode ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan. Tahap awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi dimensi atau aspek-aspek apa saja yang diasumsikan memberi kontribusi terhadap tingkat employee engagement. Yang harus disadari adalah aspek-aspek ini ketika dirumuskan di belakang meja bersifat asumtif, sehingga harus diverifikasi dalam suatu penelitian yang bersifat kualitatif melalui in-depth interview maupun focus group discussion.

Tingkat engagement ini harus dikuantifikasi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk survei. Karena survei ini dilakukan sebagai umpan balik, termasuk umpan balik terhadap seberapa jauh upaya-upaya perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan engagement, maka survei ini haruslah bersifat periodic. Harus diingat bahwa employee engagement survey ini harus bersifat customized, karena setiap organisasi mempunyai karakteristik yang khas dan unik. Berarti pula dalam mendesain survei ini tidak boleh searah yang bersifat top-down, harus mendengarkan apa sesungguhnya aspirasi karyawan. Survei ini merupakan tools dalam kerangka perbaikan manajemen, sehingga harus dicangkokkan dalam sistem dan menyatu (embedded). Dan tentunya sebagai bagian dari sistem harus dilakukan secara periodik dan berkelanjutan.

Selain employee engagement survey, ada juga beberapa hal yang terkait dengan focus, measure dan follow up yaitu exit interview, internal appointment dan retention new starters. Exit interview digunakan untuk mencari tahu dan menganalisa mengapa karyawan hengkang dari perusahaan. Selain itu ada juga internal appointment dalam rangka mengembangkan talent. Yang terakhir dalam focus, measure and follow up adalah retention new starter yang dilakukan dengan menggunakan limit jangka waktu tertentu.

Survei juga menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi engagement karyawan dengan perusahaannya dapat dikelompokkan menjadi 6 hal yaitu : komunikasi dalam perusahaan, kondisi kerja, evaluasi dan pengembangan SDM, ketentuan perusahaan, reward dan remunerasi serta layanan SDM dari perusahaan.

Dikaitkan dengan dimensi dan komponen employee engagement yang telah dijelaskan sebelumnya, survey di berbagai negara menunjukan perbedaan faktor yang mempengaruhi engagement karyawan. Bagi karyawan di Inggris dan Amerika, kata kuncinya adalah respek. karyawan di Prancis dan India punya kesamaan, menyebut jenis pekerjaan sebagai alasan terkuat bagi mereka untuk terikat dengan perusahaan. Di Jepang, karyawan menghargai gaji sebagai faktor terpenting, dan di China, hampir sama, benefit menempati urutan tertinggi. Adapun karyawan di Jerman menyebutkan "dengan siapa mereka bekerja" sebagai faktor terkuat yang membuat mereka terikat dengan pekerjaan.
Kecuali bagi karyawan di China dan India, keseimbangan yang wajar antara hidup dan kerja juga disebut sebagai penggerak penting engagement di berbagai negara, dalam hal ini working life memberikan pengaruh cukup besar.



Dampak Employee Engagement terhadap Kinerja Karyawan dan Perusahaan

Semakin populernya penggunaan konsep employee engagement dalam praktik dan penelitian disebabkan karena ada kesepakatan umum mengenai dampak positif dan signifikan dari employee engagement dalam kinerja organisasi dan hasil bisnis. Pada dasarnya, employee engagement merupakan konstruksi level individu. Employee engagement akan mempengaruhi performa organisasi secara positif ketika employee engagement memberi dampak terhadap karyawan terlebih dahulu. Oleh karena itu, employee engagement dianggap sebagai sesuatu yang dapat memberikan perubahan pada individu, tim dan organisasi.

Beberapa penelitian terdahulu menjelaskan dampak employee engagement pada individu. Employee engagement mempengaruhi kualitas kerja karyawan,meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi jumlah ketidak hadiran karyawan dan menurunkan kecenderungan untuk berpindah pekerjaan. Hal ini disebabkan karena karyawan yang memiliki derajat engagement yang tinggi akan memiliki keterikatan emosi yang tinggi pada organisasi. Keterikatan emosi yang tinggi mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan (cenderung memiliki kualitas kerja yang memuaskan) dan akan berdampak pada rendahnya keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaan/perusahaan.

Riset dari Development Dimensions International, Inc pada tahun 2006 terhadap tingkat employee engagement dan kinerja karyawan menunjukkan bahwa ketika skor engagement tinggi, karyawan akan lebih puas terhadap pekerjaannya, tingkat keinginan untuk meninggalkan pekerjaan menjadi rencah dan karyawan menjadi lebih produktif. Ini artinya employee engagement memberikan hasil yang positif terhadap perilaku karyawan. Hasil penelitian ini memperlihatkan pengaruh signifikan antara employee engagement dan kinerja karyawan dan pada akhirnya juga yang menghantarkan dampak positif employee engagement di level organisasi, yaitu pertumbuhan dan produktifitas organisasi.


Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kinerja karyawan merupakan dasar bagi kinerja organisasi, artinya secara tidak langsung employee engagement berperan dalam peningkatan kinerja organisasi. Dengan mempertimbangkan hasil riset dan survei yang telah banyak dilakukan, telah dibentuk suati kerangka kerja yang dapat menggambarkan dinamika serta hubungan antara employee engagement dan kinerja organisasi.

Dari kerangka kerja tersebut terlihat bahwa kinerja perusahaan yang tinggi dapat dicapai kalau tiga syarat terpenuhi. Ketiga syarat tersebut adalah kepemimpinan yang efektif di tiap lini (leadership), karyawan yang ”engaged” (employee engagement yang tinggi) sehingga memberikan kontribusi yang maksimal serta kepercayaan dalam perusahaan (organizational belief). Dari kerangka kerja tersebut dapat disimpulkan bahwa employee engagement memiliki peranan besar dalam meningkatkan kinerja organisasi.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perusahan, pengelolaan sumber daya manusia sebagai faktor potensial harus dilakukan dengan konsep yang tepat karena karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karyawan memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan . Kinerja karyawan merupakan dasar bagi pencapaian kinerja dan prestasi perusahaan, sehingga pengelolaan karyawan sebagai sumber daya yang potensial merupakan tugas utama manajemen. Peningkatan kinerja karyawan sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis yang disebut dengan employee engagement.

Penggunaan konsep employee engagement yang semakin populer terjadi karena adanya kesepakatan umum yang menyatakan dampak positifnya bagi kinerja organisasi. Employee engagement mempengaruhi kinerja organisasi karena mempengaruhi kinerja karyawan. Employee engagement mempengaruhi kualitas kerja karyawan,meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi jumlah ketidak hadiran karyawan dan menurunkan kecenderungan untuk berpindah pekerjaan. Hal ini disebabkan karena karyawan yang memiliki derajat engagement yang tinggi akan memiliki keterikatan emosi yang tinggi pada organisasi. Keterikatan emosi yang tinggi mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan (cenderung memiliki kualitas kerja yang memuaskan) dan akan berdampak pada rendahnya keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaan/perusahaan. Perubahan-perubahan di level individu ini pada akhirnya akan membawa perubahan positif pada level tim dan akhirnya akan membawa perubahan yang positif bagi kinerja organisasi.

Perlu ditekankan bahwa penciptaan dan pemeliharaan employee engagement dalam organisasi tidak terlepas dari peran pemimpin organisasi. Manajer harus menolong organisasi dalam menciptakan lingkungan yang dapat membuat karyawan mereka terikat secara emosional dan kognitif. Secara umum, ada tiga kluster penggerak employee engagement, yaitu organisasi, manajemen dan kepemimpinan, dan working life. Selain itu ada 6 hal yang turut mempengaruhi tingkat engagement karyawan yaitu : komunikasi dalam perusahaan, kondisi kerja, evaluasi dan pengembangan SDM, ketentuan perusahaan, reward dan remunerasi serta layanan SDM.

Organisasi yang ingin meningkatkan employee engagement harus berfokus pada persepsi karyawan terhadap dukungan yang mereka terima dari perusahaan. Oleh karena itu, disarankan adanya program-program organisasi yang menanggapi kebutuhan dan kepentingan karyawan, dapat dilakukan melalui survey-survey, kelompok kerja, program pemberian saran, serta program yang dapat mendemonstrasikan kebutuhan akan diterima dan didukung oleh organisasi.

Beberapa rekomendasi tindakan strategik pemimpin dalam mengembangkan engagement:
Komunikasikan tujuan dan sasaran organisasi dengan jelas dan konsisten
Menciptakan aturan dan praktik-praktik yang dapat menstimulasi employee engagement
Mengkaitkan sasaran organisasi dengan tugas sehari-hari karyawan
Memelihara diskusi terbuka antara senior manajer, manajer dan karyawan
Pemberian penghargaan terhadap manajer yang mampu menciptkan serta meningkatkan
employee engagement
Mampu mendengarkan apa yang diinginkan oleh karyawan dan apa yang mereka butuhkan
Menyediakan peluang-peluang dan tantangan-tantangan untuk menggali potensi-potensi
yang dimiliki oleh karyawan
Kejelasan cara bagaimana karyawan dapat memberikan kontribusi mereka
Pemberian penghargaan kepada karyawan atas kontribusi mereka
Seorang manajer dalam membangun employee engagement memerlukan keterampilan yang harus dikembangkan untuk membangun employee engagement seperti keterampilan berkomunikasi terutama keterampilan mendengarkan; memberikan umpan balik, manajemen kinerja, serta memberikan penghargaan. Perusahaan pun diharapkan memberikan dukungan dalam hal-hal:
• Pengadaan pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kepemimpinan
• Penyediaan umpan balik pada penilaian kepemimpinan dan program engagement
• Program mentoring untuk pemberian dukungan
• Pengadaan tukar pikiran dalam men-sharingkan praktik terbaik dari employee engagement
Terakhir, employee engagement harus dipandang sebagai sebuah proses yang membutuhkan pembelajaran yang berkelanjutan, yang memerlukan pengukuran secara periodik sebagai sarana untuk memantau perkembangannya, dan tentu saja diperlukan tindakan yang berkelanjutan pula.


DAFTAR REFERENSI
Gibson, James L., Ivancevich, John M., Donnelly Jr., James H., Organizations: Behaviour, Structure, and Process, 10th edition, McGraww-Hill,Boston, 2000
Robbins,Stephen P., Judge, Timothy A., Perilaku Organisasi, edisi 12, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2008
Susanto,A.B., Harian Bisnis Indonesia, Mei 2004
Mindowo,Satryo, Mengungkap Rahasia Employee Engagement, Majalah BNI Sinergi 46, edisi XVIII/, Agustus 2008
Bernthal, Paul R., Measuring Employee Engagement, Research of Development Dimensions International, Inc., 2006
Margaretha, Meily, Saragih, Susanti, Employee Engagement: Upaya Peningkatan Kinerja Organisasi Artikel dalam The 2nd National Conference UKWMS, Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 6 September 2008

Fleming, John H., Asplund, Jim, Where Employee Engagement Happens, Gallup Management Journal, Gallup Press, 08 November 2007
http://en.wikipedia.org/employee_engagement

SISTEM E-LEARNING : UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI KARYAWAN

Essay buat tugas akhir Sistem Informasi Manajemen

I. PENDAHULUAN
Untuk meningkatkan keunggulan kompettitifnya, sebuah perusahaan yang baik dan mantap, haruslah mempunyai suatu sistem yang mengelola pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu yang bekerja pada perusahaan tersebut. Apabila hal demikian telah terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki sistem manajemen pengetahuan yang baik.
Sebuah sistem manajemen pengetahuan yang baik akan meliputi suatu sistem penyimpanan (repository) informasi dan pengetahuan. Sumber informasi dan pengetahuan tersebut berasal dari pengetahuan yang telah dimiliki perusahaan tersebut secara internal, yang kemudian dikembangkan dan dihubungkan dengan sumber-sumber eksternal lainnya seperti dari pemerintah dan dunia industri.
Sistem manajemen pengetahuan juga mencakup jaringan distribusi serta prosedur penyaluran informasi/pengetahuan tersebut kepada setiap individu di dalam perusahaan tersebut baik yang sedang maupun yang akan memerlukannya sehingga pengetahuan yang telah dipelajari dapat digunakan lagi dan lagi (reuseable/guna ulang). Sistem manajemen pengetahuan ini harus memiliki system pembelajaran yang tepat dan efektif bagi karyawan perusahaan.
Pembelajaran merupakan jantung dari suatu perusahaan atau individu dalam mengembangkan kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan dengan cepat. Pembelajaran merupakan strategi dan sekaligus sebagai solusi bagi suatu organisasi/perusahaan maupun individu untuk beradaptasi dan mengambil tindakan yang efektif untuk menciptakan keunggulan daya saing.
Untuk mempermudah penyebaran pengetahuan dan mendukung system pembelajaran ini perusahaan harus memiliki system yang mampu mengakomodasi semua kebutuhan perusahaan dalam hal penyebaran pengetahuan dengan efisiensi biaya yang tinggi dan kemudahan akses dari para pegawainya. Tujuan utama system manajemen pengetahuan adalah meningkatkan kompetensi pegawai di perusahaan sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya manusia. Perkembangan teknologi informasi (TI) yang sedemikian pesat tersebut menciptakan kultur baru bagi semua orang di seluruh dunia. Integrasi teknologi informasi ke dalam dunia usaha telah menciptakan pengaruh besar. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, system manajemen pengetahuan di perusahaan dapat digunakan secara efisien dan efektif serta berkelanjutan.
Salah satu produk integrasi teknologi informasi ke dalam dunia usaha adalah e-learning atau elektronik learning. Saat ini e-Learning mulai mengambil perhatian banyak pihak, baik dari kalangan akademik, profesional, perusahaan maupun industri. E-learning adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituang dalam format digital dan disajikan melalui teknologi informasi. Dalam dunia usaha dan industri, e-Learning dinilai mampu membantu proses dalam meningkatkan kompetensi karyawan atau sumber daya manusia
E Learning merupakan sebuah alat yang dinilai ampuh untuk lebih memberdayakan sistem manajemen pengetahuan. Dikatakan demikian, karena dengan adanya e-Learning, proses pengaksesan informasi yang telah terekam dapat dilakukan dari tempat yang jauh dari perusahaan tempat kerja. Sehingga e-Learning tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator juga sekaligus mempermudah mereka (para karyawan perusahaan tersebut) untuk terus belajar dari pengalaman mereka sebelumnya yang telah direkam dan didokumentasikan serta tersimpan dalam repository.
Dengan sistem e-Learning yang dimanfaatkan secara tepat guna, suatu organisasi/perusahaan dapat dengan cepat meningkatkan efisiensi dalam mereplikasi pengetahuan yang telah berhasil dikuasai dan dipelajari di suatu bagian ke seluruh sendi tubuh organisasi/perusahaan yang lainnya. Replikasi secara cepat ini sangat penting dalam memastikan bahwa perusahaan tidak lagi berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama dan harus kembali lagi mempelajarinya dari awal, serta informasi pengetahuan menjadi tidak terisolasi dalam suatu bagian-bagian individu-individu dalam suatu organisasi/perusahaan.
e-Learning memberdayakan salah satu karakteristik yang berguna dari pengetahuan, yaitu sekali diciptakan kemudian disimpan. Dengan demikian, akan sangat mudah untuk direplikasikan ke seluruh bagian organisasi/perusahaan. Penggunaan e learning bertujua untuk memberikan pembelajaran kepada karyawan untuk meningkatkan kompetensinya secara berkelanjutan guna menunjang kinerja karyawan itu sendiri. Hal tersebut pada akhirnya akan berperan pada tingkat kemajuan dan kinerja perusahaan.

II. PERMASALAHAN
Sekalipun e-learning telah banyak digunakan dan dikenal luas, implementasinya membawa pengaruh bagi perkembangan system tekonologi informasi di perusahaan dan belum terlalu banyak diketahui umum sehingga menarik untuk dibahas lebih lanjut.

Essay ini akan memfokuskan pada pembahasan mengenai system e learning sebagai upaya peningkatan kompetensi karyawan di perusahaan. Bagian pertama akan dibahas tentang latar belakang e learning, setelah itu dijelaskan manfaat dan kendala dalam implementasi e learnig termasuk didalamnya perbandingan dengan pola pembelajaran system konvensional. Lebih lanjut disajikan beberapa implementasi e learning di perusahaan besar di Indonesia sebagai bahan perbandingan. Bagian akhir akan menjelaskan beberapa rekomendasi sehubungan dengan implementasi e learning dan upaya peningkatan kompetensi karyawan.

III. ANALISA PERMASALAHAN
Pengertian dan Sejarah E Learning
E-Learning adalah pembelajaran jarak jauh (distance Learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau Internet. E-Learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas. E-Learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-Learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-Learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.

E-Learning disampaikan dengan memanfaatkan perangkat komputer. Pada umumnya perangkat dilengkapi perangkat multimedia, dengan cd drive dan koneksi Internet ataupun Intranet lokal. Dengan memiliki komputer yang terkoneksi dengan intranet ataupun Internet, pembelajar dapat berpartisipasi dalam e-Learning. Jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi tidak dibatasi dengan kapasitas kelas. Materi pelajaran dapat diketengahkan dengan kualitas yang lebih standar dibandingkan kelas konvensional yang tergantung pada kondisi dari pengajar.

E-Learning bisa mencakup pembelajaran secara formal maupun informal. E-Learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-Learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahan konsultan) yang memang bergerak di bidang penyediaan jasa e-Learning untuk umum. E-Learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi/perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas.
E-learning pertama kali diperkenalkan oleh Universitas Illionis di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruktion) dan komputer bernama PLATO. Sejak saat itu, perkembangan e-learning berkembang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi.

Berikut perkembangan e-learning dari masa ke masa :
 Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan Audio) dalam format mov, mpeg-1, atau avi.

 Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara masal.

 Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, IEEE LOM, ARIADNE, dsb.

 Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia, video streaming serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar dan berukuran kecil.

Melihat perkembangan e-learning dari dari masa ke masa yang terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi, maka dapat disimpulkan bahwa e-learning akan menjadi sistem pembelajaran masa depan. Seiring perkembangan Internet, penggunaan sistem e-learning pun tumbuh luar biasa. Internet telah digunakan sebagai tool untuk melakukan pembelajaran.
Pakar e-learning dunia Marc J. Rosenberg mendefinisikan e-learning sebagai penggunaan teknologi Internet untuk menyampaikan berbagai macam solusi guna meningkatkan pengetahuan dan kinerja. Jadi, e-learning mengacu pada kegiatan pembelajaran atau transfer informasi dan skill dengan menggunakan media Internet.


Manfaat dan Kendala E Learning

Tujuan umum system manajemen pengetahuan menggunakan e-Learning di perusahaan adalah agar tersedia akses belajar dan perbaikan kesamaan kesempatan belajar pada semua karyawan dengan fleksibilitas yang tinggi terutama dalam hal waktu dan akses. Tujuan ini pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kompetensi karyawan. Sebagaimana diketahui, perkembangan pengetahuan dan system kerja di perusahaan berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan pasar dan dunia perekonomian sehingga karyawan dituntut memiliki komptensi yang lebih dari waktu ke waktu dan up date dengan perkembangan dunia guna menunjang kinerjanya.

Dalam implementasi e learning, tidak sedikit kendala yang dihadapi, namun manfaat yang diperoleh juga cukup banyak jika dibandingkan dengan pola pembelajaran konvensional. Berikut disajikan beberapa manfaat dan kendala yang dihadapi dalam implementasi e learning.

Manfaat E-learning :

1. Kemudahan akses bagi karyawan dari tempat kerja tanpa harus datang secara fisik. Hal ini memberikan manfaat dari segi waktu bagi karyawan dimana pembelajaran bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan pekerjaan dalam waktu lama, bahkan akses dapat dilakukan di luar jam kerja dengan pengaturan waktu yang disesuaikan dengan kemampuan dan keinginan pekerja (learning while working).

2. Ketersediaan informasi yang melimpah dari sumber-sumber di seluruh dunia. Dengan menggunakan internet sebagi media pembelajaran akan didapatkan sumber informasi untuk pengayaan materi yang jumlahnya sangat tak terbatas

3. Biaya yang lebih kecil secara keseluruhan dibandingkan dengan pelatihan konvensional. Sekalipun biaya investasi awal pengembangan system e learning cukup besar, namun dalam jangka panjang, nilai biaya menurun seiring dengan pemakaian e learning seperti pengurangan ruang-ruang tempat pelatihan berarti pemangkasan biaya sewa dan perluasan ruang kantor/perusahaan, pengurangan biaya akomodasi peserta pelatihan,dll.

4. Kecepatan dan kemudahan up date materi/ pengetahuan dari perusahaan kepada karyawan sehingga penngkatan kompetensi bisa diperoleh dalam waktu singkat dan mempersiapkan karyawan untuk menghadapi tantangan usaha lebih cepat dan meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan.

5. Pemerataan kesempatan belajar dan pengembangan diri bagi seluruh karyawan dengan mendapat kesempatan yang sama untuk membangun sikap proaktif dalam pengembangan kompetensi diri yang akan meningkatkan kinerja karyawan.

Kendala E-learning :
1. Masih rendahnya minat belajar dari karyawan disebabkan karena faktor budaya (nyaman dengan pekerjaan yang telah ada sehingga peningkatan kemampuan dinilai tidak terlalu diperlukan).

2. Kemampuan teknologi yang terbatas dari para karyawan terutama kemampuan teknologi internet dan penggunaan teknologi berbasis system lainnya, terutama untuk karyawan dengan system pekerjaan konvensional/manual dan sedikit bersentuhan dengan teknologi.

3. Keterbatasan teknologi informasi perusahaan karena system e learning membutuhkan bandwidth yang besar dan tim manajemen/task force e learning yang tersendiri (khusus) karena penerapan e learning berkelanjutan dan membutuhkan up date kontinyu.

4. Perkembangan e learning secara komersial masih didominasi oleh Negara tertentu, bagi Indonesia hal ini menjadi kendala dalam hal kemudahan memperoleh aplikasi dan biaya. Sebagian besar system e learning masih dikuasai oleh negara-negara maju seperti Australia dan Amerika sehingga untuk mengembangkan system e learning yang memadai, perusahaan di Indonesia harus membeli dari luar negeri.

Penerapan E Learning di Beberapa Negara dan Perusahaan
Survei yang dilakukan American Society for Training & Development pada 2004 mengungkapkan bahwa hampir 60% perusahaan di Amerika Serikat telah atau mulai mengimplementasi e-learning di perusahaan mereka.
Di Australia,dipicu biaya pelatihan dan tenaga pelatih yang cukup mahal, kini banyak perusahaan beralih ke e-learning. Untuk memberi solusi efektif e-learning, banyak perusahaan di Australia menggunakan pendekatan fully blended learning. Lalu, semua universitas dan perguruan tinggi pun memiliki pusat pengembangan e-learning. Yang tak kalah penting, ada dukungan penuh dari pemerintah. Melalui departemen pendidikan dan perindustrian, pemerintah pusat dan negara bagian memberi dukungan dana puluhan juta dolar untuk berbagai proyek e-learning. Depperindag di Victoria misalnya, memberi akses gratis Learning Management System (LMS) Blackboard yang dipusatkan layaknya sebuah application service provider, sehingga dapat dipakai oleh semua penyelenggara kursus dan institusi pendidikan di Victoria.
Tak hanya itu. Pemerintah Australia juga mengucurkan dana untuk pembuatan ribuan Learning Object (LO) dari berbagai mata kuliah – yang dapat diakses gratis oleh setiap guru/dosen untuk membuat bahan ajar dalam format e-learning. Dengan adanya LO, mereka tidak perlu lagi membuat ulang bahan yang sudah ada. Institusi tinggal mengambil yang sudah ada di repositori, mengedit dan memperkayanya. Pengembangan bahan diawasi oleh para Certified Instructional Designer dan secara teknis dialihdayakan ke perusahaan swasta. Menariknya, repositori LO setiap negara bagian saling terhubung dan dapat diakses.
Pemerintah Australia juga membuat lembaga standardisasi nasional e-learning, yang disebut E-learning Standard Group. Tugasnya mengatur standar metadata LO; arahan desain bahan-bahan e-learning; standar penggunaan aplikasi; standar desain konten e-learning, dan sebagainya.
Di Indonesia, walaupun tidak ada data resmi mengenai jumlah perusahaan dan lembaga pendidikan yang telah menerapkan e-learning di Indonesia, sejumlah perusahaan yang telah mempraktikkan e-learning, antara lain: Bank Mandiri, Indosat, BII, BNI, Garuda Indonesia, Telkom, FIF, SAP Indonesia, Citibank, IBM Indonesia, dan lainnya. Bahkan, perusahaan-perusahaan itu mensyaratkan pegawainya mengikuti e-learning (di luar jam kerja) dengan memberikan reward and punishment-nya. Bagi yang telah mengikuti pelatihan tertentu melalui e-learning dan ujiannya lulus, akan mendapat poin tertentu. Sebaliknya, kalau tidak mengikuti pelatihan via e-learning yang telah disyaratkan, mereka bakal kehilangan kesempatan untuk dipromosikan.
Sejak tahun 2006, Indonesia dalam hal ini lembaga SWA dan Pustekkom Depdiknas menyelenggarakan “E Learning Award”, sebuah ajang yang memberikan penghargaan pada perusahaan,lembaga atau organisasi yang mengembangkan e learning baik dalam hal implementasi,pengembangan software maupun materi lainnya yang berkaitan.

Berikut beberapa penerapan e learning di perusahaan Indonesia :
1. Pada BII, e-learning telah diimplementasi sejak tahun 2000. Tujuannya untuk meningkatkan kompetensi karyawan bank ini. Lalu, pada 2005 dikembangkanlah portal korporat yang disebut BII Corporate University.Pada perkembangan selanjutnya, LMS pun diimplementasi sebagai aplikasi inti sistem e-learning. Investasi yang ditanamkan BII untuk mengembangkan sistem e-learning hanya 0,1% total anggaran pelatihan. Relatif kecilnya investasi untuk mengembangkan BII Corporate University dan LMS itu, terutama lantaran menggunakan platform open source. Adapun dana yang dikeluarkan lebih digunakan untuk meng-upgrade kinerja perangkat keras, mengembangkan modul pembelajaran, dan biaya penunjang lainnya.
Fitur-fitur yang tersedia pada portal itu dibangun berdasarkan konsep content management system (CMS), sehingga sistem ini bisa diisi beragam konten dari banyak kontributor, sehingga tercipta lingkungan berbagi pengetahuan secara kolaboratif. Modul pembelajaran jarak jauh yang telah disediakan, antara lain: Know Your Customer-Anti Money Laundering (KYC-AML); Operational Risk Management; dan Product Knowledge & Service Quality, Introduction to Banking; dan Legal for Bankers.
2. Akhir tahun 2005, Garuda Indonesia pun memutuskan untuk mengimplementasi e-learning – yang disebut GA e-Learning. Keputusan itu diambil setelah diyakini bahwa e-learning bisa dipakai sebagai salah satu tool strategis untuk mencapai tujuan perusahaan. Investasi yang dikeluarkan untuk mengembangkan GA e-Learning relatif sangat kecil. Pasalnya, platform infrastruktur TI di Garuda memang sudah tersedia secara lengkap, sehingga memudahkan penambahan sistem aplikasi, tanpa mesti mengubah konfigurasi yang sudah ada. Di samping itu, perangkat lunak e-learning yang digunakan pun diambil dari open source, yakni Moodle.
3.
3. Pada November 2006, BNI pun secara resmi mulai menggunakan sistem e-learning, yang disebut Program e-Learning BNI. Untuk mengembangkan sistem e-learning ini BNI mesti menginvestasikan dana hingga Rp 8,1 miliar lebih – terutama digunakan untuk pengembangan konten (courseware), yang mencakup 69 kursus, terdiri dari 269 modul, dengan total waktu pelatihan 167 jam. Sementara LMS yang digunakan merupakan salah satu modul yang ada di aplikasi SDM dari Oracle e-Business Suite versi 11, yang dinamakan Human Capital Management System.
Hingga Oktober 2007, dari total pegawai BNI yang sebanyak 18.431 orang, tercatat 16.733 orang telah menggunakan Program e-Learning BNI. Pengguna terbanyak dari Sentra Kredit Cabang sebanyak 1.036 learner (dari total 1.193 pegawai); sedangkan persentase terbanyak dicapai oleh Divisi Bisnis Kartu, yang telah melatih 391 learner atau mencapai 98,24% dari total pegawainya yang sebanyak 398 orang.
Melalui penerapan e-learning, pihak BNI bisa menikmati penghematan yang signifikan. Penghematan biaya pelatihan dengan menggunakan e-learning dibanding pelatihan tradisional, minimum meliputi tiga komponen biaya, yakni biaya transportasi, uang saku peserta, dan konsumsi. Data per 31 Juli 2007, dari 24 course dan 6 test/survei online, penghematan dari tiga komponen biaya itu senilai Rp 64 miliar lebih. Penerapan e-learning ini bisa menghemat biaya pelatihan per individu, di samping adanya berbagai manfaat lainnya.
Selain sosialisasi dari awal, BNI juga memberikan stimulus-stimulus untuk mensukseskan program perubahan yang dilakukan, misalnya, program Learner Award untuk pegawai yang aktif melakukan pembelajaran melalui e-learning. Award tersebut berupa insentif sejumlah rupiah tertentu bagi yang telah menyelesaikan courseware, hadiah laptop bagi best performers hingga training ke luar negeri. Dengan penerapan e learning ini sendiri, beberapa inisiatif sudah menunjukkan hasil, misalnya produktivitas karyawan meningkat. Ke depannya BNI mengharapkan dengan adanya perubahan sistem dan paradigma ini, karyawan bisa semakin engange, dan itu artinya tidak hanya puas dan senang kerja di perusahaan ini, tapi terus mencari cara-cara baru untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

4. PT Federal International Finance (FIF) juga termasuk perusahaan juga menerapkan e learning. Bahkan, di perusahaan pembiayaan kredit sepeda motor ini e-learning telah dipakai sebagai tool orientasi karyawan baru dan prasyarat kelulusan masa probation. Pengembangan e-learning di FIF sudah dimulai tahun 2003. Namun, efektif dipakai dalam proses pembelajaran wajib bagi karyawan FIF baru Mei 2006. Nama programnya Oracle Learning Management System (OLMS) - SCORM Comply. Biaya untuk membangun e-learning ini relatif kecil, karena aplikasi LMS diperoleh gratis dari Oracle sebagai bagian dari pembelian paket software Human Resource Management System (HRMS). Adapun biaya yang dikeluarkan, terutama untuk pembelian terminal Rp 2 juta per cabang (total 102 komputer yang diinstal); biaya pengembangan modul – secara paralel 6-10 modul (durasi 4 jam) – US$ 2-3 ribu; dan biaya lainnya. Sejak Mei 2006 hingga April 2007, total karyawan yang mengakses sebanyak 4.600 orang. Sementara karyawan yang diwajibkan mengikuti 2.600 orang. e-Learning ini sangat bermanfaat sebagai salah satu tool strategis untuk meningkatkan kompetensi knowledge karyawan FIF.
Lebih lanjut, penerapan e-learning di FIF telah meningkatkan efisiensi secara signifikan. Sebagai gambaran, karyawan baru wajib mendapat pelatihan kelas yang disebut Basic Mentality. Sejak Mei 2006, pelatihan yang tadinya dijalankan konvensional dikonversi menjadi e-learning. Tercatat ada 2.500 karyawan baru yang diwajibkan mengikuti pelatihan selama periode 1 Mei 2006 hingga 30 April 2007. Dengan konversi ini, tercipta efisiensi sebesar 72% per tahun. Dengan adanya e-learning, pelatihan yang seharusnya diadakan dalam waktu 6 hari, bisa dipangkas menjadi tiga hari. Penghematan yang bakal diperoleh FIF dengan pola e-learning (dibanding pola konvensional) sebesar 45%.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perusahan, pengelolaan sumber daya manusia sebagai faktor potensial harus dilakukan dengan konsep yang tepat. Salah satu bagian dari pengelolaan SDM adalah peningkatan kompetensi karyawan guna meningkatkan kinerja karyawan dan perusahaan melalui sistem manajemen pengetahuan. Pemberian pelatihan dinilai cukup memberikan hasil namun metode yang digunakan terus berkembang. Terakhir, perkembangan sistem manajemen pengetahuan adalah dnegan menggunakan metode e learning.

E-learning adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituang dalam format digital dan disajikan melalui teknologi informasi dan didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD dengan memanfaatkan perangkat komputer.

Perkembangan e learning telah dimulai sejak tahun 1990 dan terus berkembang hingga saat ini dengan penerapan yang telah menyebar luas diberbagai negara seperti Amerika,Australia, dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, perkembangan e learning menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam 2 tahun terakhir (terutama dengan adanya survei untuk E Learning Award yang diadakan Swa dan Pustekkom Depdiknas) dimana beberapa perusahaan besar telah mengimplementasikan sistem ini sejak tahun 2000 dan memberikan dampak bagi peningkatan kompetensi karyawannya terutama yang berhubungan dnegan bisnis perusahaan itu sendiri. Beberapa perusahan yang telah menerapkan e learning diantaranya : Bank Mandiri, Indosat, BII, Bank BNI, Garuda Indonesia, Telkom, FIF, SAP Indonesia, Citibank, IBM Indonesia, dan lainnya.

Implementasi e learning juga memberikan manfaat yang signifikan bagi perusahaan disamping peningkatan kompetensi pegawai, diantaranya media e-Learning lain dapat menjangkau lebih banyak peserta, menghemat biaya pelatihan per individu,meningkatkan ragam pembelajaran bagi setiap karyawan sesuai dengan kebutuhan, meningkatkan fleksibilitas karyawan dalam melakukan pembelajaran, pemerataan kesempatan belajar dan kecepatan up date pengetahuan dalam perusahaan.
Penerapanya juga tidak terlepas dari beberapa kendala diantanya sulitnya menumbuhkan minat belajr karyawan dikarenakan budaya belajar yang rendah dan kemampuan teknologi individu yang terbatas, serta masih sulitnya pembelian sistem e learning bagi perusahaan lokal karena pengembangan komersial e learning masih didominasi pihak luar seperti Australia.

Beberapa rekomendasi dalam mengembangkan E learning di perusahaan dalam upaya peningkatan kompetensi karyawan adalah:
 Perlu dilihat kapasitas perusahaan yang menggunakan sistem e learning dnegan pola pembelajaran konvensional. Untuk perusahaan yang tersebar di banyak lokasi, metode e learning cukup memberikan manfaat biaya, namun untuk perusahaan yang terkonsentrasi di satu lokasi dengan tingkat pekerjaan lebih fleksibilel maka pola pembelajaran dengan tatap muka mungkin lebih efektif. Namun tidak tertutup kemungkinan penggunaan sistem campuran dimana pola e learning dipadukan dengan sistem e learning.
 Untuk perusahaan/organisasi yang mengarah kearah komersialisasi, agar perusahaan tersebut dapat sukses mengimplementasikan e-Learning sebagai upaya yang mengarahkan perusahaan sebagai organisasi pembelajar (learning organization), harus selalu menekankan tujuan bisnis yang jelas, karena hal tersebut merupakan kunci sukses dalam mengidentifikasikan pengetahuan seperti apa yang penting bagi perusahaan tersebut dan juga bagi para karyawannya. Selain itu, juga perlu diidentifikasi tentang jenis pengetahuan apa yang perlu dipelajari oleh para karyawannya sehingga dampak pengimplementasian e-Learning ini akan terasa sekali meningkatkan kinerja perusahaan dan menghasilkan laba sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh manajemen.
 Untuk mengatasi rendahnya tingkat budaya belajar dan kemampuan teknologi karyawan, konten e-learning dibuat sedemikan rupa sehingga mendorong pembelajar bisa aktif sendiri. Penggunaan animasi atau hal-hal lain yang dinilai akrab dengan lingkungan karyawan menjadi salah satu pilihan utama.
 Proses sosialisasi e learning harus dilakukan secara intensif dan berkesinambungan baik dalam hal sosialisasi awal untuk pengenalan sistem maupun sosialisasi dalam hal perkembangan materi dan sistem e learning itu sendiri.
 Peran serta manajemen harus di seluruhlini, artinya e learning bukan hanya menjadi tanggung jawab divisi SDM atau Litbang saja, namun dari level manajemen tingkat bawah harus bertanggung jawab dalam implementasi e learning dalam lingkungan kepemimpinannya.
 Integrasi yang jelas antara implementasi e learning dengan pengelolaan SDM sehingga bagi karyawan, penggunaan e learning menjadi suatu keharusan seperti persyaratan untuk mendapatkan promosi di posisi tertentu harus telah lulus dalam materi e learning tertentu.
 Penggunaan insentif seperti learner award juga dapat digunakan untuk meningkatkan minat karyawan mengakses e learning yang pada akhirnya akan memberikan manfaat berupa penanaman kebiasaan untuk menggunakan system e learning guna menigkatkan pengetahuan dan kompetensinya.


DAFTAR REFERENSI
Martin, Brown, De Hayes, Hoffer, Perkins, Managing Information Technology, 4th edition, Prentice-Hall, New Jersey, 2002
Robbins,Stephen P., Judge, Timothy A., Perilaku Organisasi, edisi 12, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2008
Sardjono,Wahyu., SWA Online, Ini Era E Learning Bung!, 20 November 2007
Sugiarsono, Joko., SWA Online, e-Learning Award 2007, Bukan Kontes Biasa, 08 November 2007
http://suray.wordpress.com/e-learning-peranan-dalam-manajemen-pengetahuan
http://www.bni.co.id/human resources
http://www.elearning.gunadarma.ac.id